Selasa, 16 Maret 2010

Satu Yang Tak Pernah Hilang

 















Oleh: Jessica Nathania

Sore itu, aku.. entah sedang apa. Yang jelas, sore itu baru diguyur hujan deras. Telepon rumahku berbunyi.
“Hallo?” jawabku.
Suara yang tidak asing lagi bagiku terdengar di ujung sana.
“Fenny?” Aku kaget.
Ternyata anak itu masih ingat aku! Selanjutnya pembicaraan kami berlanjut dengan cerita tentang masing-masing kami.
“Aku kira kamu udah lupa aku!”
“Aku kan udah janji ga akan lupain kamu! Selama ini aku sibuk banget! Sampe lupa ulang tahun kamu! Sori, ya! Sekarang aku lagi liburan nih. Aku kangen, pengen ketemu kamu.”
“Sama dong. Aku kangen banget sama kamu! Kamu ada di Bandung?”
“Ya.” jawabnya singkat.
Lalu kami memutuskan untuk bertemu di lapangan bola dekat rumah kami yang dahulu, sebelum aku pindah dan dia pindah ke Jakarta. Tempat itu menyimpan banyak kenangan bagi kami. Di situ kami bermain, di situ kami berbagi suka juga duka. Sampai akhirnya Fenny harus pindah ke Jakarta pada saat kami berumur 11 tahun dan di tempat itulah kami berpisah. Kami berjanji kami tidak akan lupa satu sama lain meskipun kami sibuk dengan urusan masing-masing. Fenny menepati janjinya setelah 5 tahun berpisah.
Aku mengenakan t-shirt warna biru kesukaannya, dengan celana panjang jeans yang baru kubeli kemarin. Aku pun tak lupa mengenakan kalung pemberiannya waktu kami berpisah. Meskipun kalungnya sudah agak berkarat, tapi aku tetap memakainya sampai sekarang. Karena aku tidak mau mengecewakannya. Kupandang kalung itu lama-lama...
Malam itu, malam terakhir Fenny di Bandung. Kami membuat perpisahan di lapangan bola. Sehari itu aku menghabiskan waktuku dengannya. Sejak pagi, kami bermain-main, lalu siangnya kami makan makanan kesukaan kami berdua. Kami membuat janji di sebuah pohon tua.
Jeanny dan Fenny, sahabat selamanya. Malam itu angin bertiup lembut. Kami membaringkan tubuh kami di bawah pohon tua, setelah kami capai untuk bermain.
Sambil menatap langit yang hitam tanpa sinar bulan, yang ada hanya kerlap kerlip bintang yang menghiasi langit malam itu, kami ngobrol banyak tentang hubungan kami selama ini.
“Setelah malam ini, mungkin kita tidak akan bisa bertemu lagi, kecuali kalau Tuhan mempertemukan kita lagi..” katanya sambil menatap ke atas.
“Aku ngga akan lupa tentang persahabatan kita..” balasku.
“Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Terima kasih kamu mau jadi teman baikku. Maafkan aku kalau aku pernah membuatmu sakit hati.” katanya sambil menatapku.
“Aku juga..“ jawabku singkat.
Selama lima menit, kami tidak bersuara, mengingat masa-masa indah, suka dan duka kami masing-masing. Saat aku menghiburnya waktu dia dimarahi papanya gara-gara pulang malam, saat kami berdua lulus SD dengan nilai yang membanggakan, bahkan saat-saat yang memalukan yang telah kami lewati sama-sama.
“Aku punya sesuatu untukmu.”
Tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ia membuka kotak itu. Kalung berbandul bintang yang indah. Bintang itu terlihat berkilauan. Dia memakaikan kalung itu ke leherku.
“Dengan ini, kamu akan selalu ingat aku. Bintang yang berkedip-kedip ini sama seperti bintang di langit sana. Meskipun sinarnya tidak seterang bulan, bintang ini menandakan seseorang yang punya gairah hidup yang besar, tidak pernah putus asa, tapi terus berusaha. Kadang-kadang jatuh, tapi dia akan bangkit lagi. Dia lemah, tapi mencoba untuk kuat. Aku harap, kamu bisa seperti bintang ini.” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Fenny!” Tanpa sadar aku menangis.
Aku sangat tidak rela Fenny pergi meninggalkanku. Siapa lagi orang yang akan mengajak aku bermain? Siapa lagi orang yang membantuku belajar? Siapa lagi orang yang akan aku ajak untuk ngobrol dan sharing?
Fenny memelukku hangat, dan di pundaknya aku menangis selama beberapa saat. Fenny pun menangis, dan kami begitu selama lima belas menit.
Jam tanganku menunjukkan pukul sepuluh malam. Fenny harus pulang ke rumah. Besok ia pergi dengan pesawat paling pagi, jam enam. Setelah itu kami pulang, berjalan berlawanan arah dan itulah saat terakhir aku melihatnya, melihat senyumnya, dan melihat wajahnya yang manis...
“Fen!” kataku sambil melambai-lambaikan tanganku.
Fenny berbalik dan berlari ke arahku di bawah sebuah pohon tua. Kami berpelukan erat-erat, seakan tidak ingin dipisahkan lagi. Perasaanku saat itu sangat gembira.
“Mukamu hampir tidak aku kenali! Kamu berubah seratus persen!” Fenny memulai pembicaraan kami. Aku tertawa renyah.
“Kecuali senyummu!” tambahnya.
“Kamu juga tambah cantik.” pujiku.
“Thanks!”
“Kamu masih ingat tempat ini?” tanyaku.
“Of course!”jawabnya mantap. “Di sini kita pertama kali bertemu dan berpisah.”
“Dan pohon tua ini?” tanyaku lagi.
Dia tertegun sebentar, “Hah?! Pohon tua ini masih ada?!” jawabnya kaget sekaligus senang.
“Berarti goresan itu masih ada?!” tanyanya lagi sambil mengitari pohon besar itu.
Aku mengangguk. Ya, tulisan itu masih ada!
Kami duduk bersandar pada pohon tua itu. Dia menengok ke arahku.
“Aku senang kau masih pakai kalung pemberianku.” katanya sambil tersenyum.
“Ya, setiap aku menghadapi masalah, aku pasti mengingatmu lewat kalung ini. Kalung ini menguatkanku. Dan mengingatkanku pada bintang yang kau ceritakan itu.”
“Sudah agak berkarat...” katanya datar.
“Ya, sudah lima tahun..” kataku lagi.
“Tapi aku senang kamu masih mau pake kalung ini.” ungkapnya senang.
“Lapangan ini tidak banyak berubah..” katanya lagi.
“Ya, aku tidak rela tempat ini diubah jadi pemukiman atau apa pun. Tempat ini akan selalu begini, sampai kita tua, bahkan sampai kita mati. Tempat ini tempat yang menyimpan sejuta kenangan. Aku akan membelinya jika perlu.” aku mengatakannya dengan serius.
Fenny berlibur sebulan di sini. Aku tidak akan membuang-buang waktu itu. Tidak akan! Akan kuhabiskan untuk kami berdua. Kami jalan-jalan dan setiap hari ngobrol di bawah pohon tua ‘kita’. Kami banyak bertukar info tentang anak-anak Jakarta dan Bandung, sekolah kami masing-masing, teman-teman kami, dan banyak lagi.
“Besok ada film baru yang diputer di bioskop. Kayaknya sih rame. Nonton, yu?!” ajakku bersemangat.
Kami suka nonton film di bioskop, sambil makan berondong dan soft drink yang kami beli sebelum masuk bioskop.
“O, ya? Boleh, tuh!” Kulihat sinar matanya yang berbinar-binar tanda setuju atas ajakanku. Jam dua siang, aku tunggu di sini, oke?” kataku sambil melihat jam tanganku.
Kami sudah merencanakan kegiatan kami untuk hari esok.
“Sebelum film dimulai jam tiga, kita makan siang dulu, terus kita jalan-jalan di lantai satu, beli popcorn dan coke, baru beli tiket buat nonton.” katanya bersemangat.
Aku menganggukkan kepalaku, meskipun tak percaya seratus persen semuanya dapat berjalan sesuai rencana kami.
Sesuai apa yang sudah kami rencanakan, kami bertemu di tempat ‘kami’. Lalu sama-sama kami pergi ke sebuah mall di pusat kota Bandung. Sesampainya di sana kami makan siang, lalu jalan-jalan. Kami masuk ke sebuah toko perhiasan. Di etalase toko kami melihat sepasang kalung yang indah. Bandulnya bertuliskan BEST FRIEND.
Kalung tersebut saling terbelah jadi dua. Kami tertarik dan membelinya. Kalung emas putih yang berkilauan ditimpa cahaya lampu itu kami pasang di leher kami masing-masing. Dan kami yakin, persahabatan kami tidak dibatasi ruang dan waktu.
Meskipun jarak kami berjauhan, kami tahu kami tidak akan lupa satu sama lain, karena kami sudah berjanji tidak akan pernah melepas kalung ini dari leher kami...
Jam tangan kami menunjukkan pukul tiga kurang dua puluh menit. Kami pergi ke lantai paling atas dan membeli dua buah tiket, dua kantong berondong, dan dua gelas coke. Kami menikmati film yang disajikan sampai selesai. Fenny mengantarkan aku pulang dengan mobil sedan putihnya sampai depan rumahku. Dan mengucapkan selamat malam.
Tak terasa besok adalah hari terakhir Fenny di Bandung. Liburan kami masing-masing sudah berakhir, dan Fenny harus kembali ke Jakarta.
“Aku janji, begitu ada libur, meskipun cuma dua atau tiga hari, aku akan ke Bandung buat kamu.” janjinya di bawah pohon tua itu.
Aku sedih, Fenny harus balik lagi. Aku tidak ingin perpisahan! Hhhh.. aku mendesah. Masa cuma sebulan aku bersama teman baikku, lalu kami harus berpisah lagi?
“Kamu juga harus janji, kalung ini harus terus dipakai sampai aku balik lagi ke sini.” katanya sambil menyatukan kalung kami.
“Ya, aku janji, kalung ini saksi persahabatan kita..” jawabku mantap.
“Besok antar aku ke stasiun, ya?” pintanya. Aku mengangguk pasti.
“Jangan sedih dong! Aku kan Cuma sebentar di Jakarta. Janji deh, kalo liburan pasti aku ke Bandung lagi. Kita pasti ketemu lagi.” katanya tersenyum sambil menepuk pundakku. Kami saling tukar alamat e-mail dan no hp.
“Aku bakal sering-sering telpon kamu, sms kamu, dan e-mail kamu.” katanya lagi.
Akhirnya aku bisa merelakan kepergiannya. Ya, Fenny Cuma sebentar. Dia pasti balik lagi. Aku percaya aku bisa ketemu dia lagi.
Di stasiun, “Jaga diri baek-baek, yah!” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk.
Kami berjalan sampai depan pintu gerbong kereta. Lima menit lagi kereta berangkat. Fenny mengambil kalungku dan menyatukan kalung kami.
“Best Friend.” katanya.
Kami berpelukan sampai tiba waktunya Fenny harus pergi.
“Salam buat mama papamu, ya! Liburan yang akan datang, mama dan papaku ikut aku ke Bandung. Mama papa kita bisa reunian.” katanya sambil menepuk pundakku.
“Aku pergi, ya! Take care!” katanya terakhir kali. Ia tersenyum manis. Manis sekali, lebih manis dari biasanya.
Fenny masuk membawa kopernya dan duduk dekat jendela. Aku memandang sudut matanya. Mata yang penuh pengharapan. Dia begitu yakin liburan yang akan datang kami dapat bertemu lagi. Dan ia ingin cepat-cepat menanti datangnya waktu itu.
Perlahan-lahan kereta berjalan, aku mengikutinya sambil melambai-lambaikan tanganku mengikuti perginya kereta. Aku mempercepat langkahku mengikuti perginya kereta dari penglihatanku.
“Ati-ati, ya!” teriakku.
Akhirnya kereta itu menghilang dari pandangan mataku. Dengan sedih, aku membalikkan badan dan berjalan pulang.
Seminggu setelah Fenny pergi, aku merasa kesepian lagi. Aku sadar, aku ga boleh begini terus. Aku harus berteman lebih banyak lagi. Selama ini aku selalu menutup diri dari teman-temanku. Aku ingat ucapan Fenny waktu kami kecil, bahwa kami berlomba untuk berteman sebanyak mungkin. Ya, Fenny benar. Tapi tempat sahabat baikku hanya boleh diduduki oleh Fenny seorang.
“Kamu jangan gitu, dong! Kita kan setuju untuk berteman sebanyak mungkin.” katanya ketika aku curhat lewat chatting.
“Aku takut aku lupa sama kamu..” balasku.
“Kan ada kalung kita yang selalu ingetin kita tentang persahabatan kita. Kamu masih pake kan?” tanyanya lagi.
“Masih dong!” jawabku mantap.
“Gitu dong! Pokoknya kamu harus berteman sebanyak mungkin! Aku yakin, pasti banyak banget yang mau temenan sama orang baek kayak kamu. ;P ” pujinya lagi.
“Mmmm.. oke deh, aku bakal laksanain saran kamu. Thanks, ya, Fen!” Aku tersenyum mengerti.
“Udahan dulu ya, aku harus les nih!” kataku menutup pembicaraan kami.
“Oke, selamat les deh! Bye!”
Sejak saat itu, aku punya banyak teman. Aku baru bisa merasakan betapa enaknya punya banyak teman. Aku tidak pernah lagi merasa kesepian. Mereka semua membantu semua masalahku dan menghiburku waktu aku BT. aku janji suatu saat, kalo Fenny dateng ke Bandung, aku bakal kenalin semuanya sama dia.
Jeanny> Hi!
Fenny> Hi juga! Gimana kabarnya? Aku punya kabar bagus.
Jeanny> Aku juga punya. ?
Fenny> Kalo gitu kamu dulu.
Jeanny> Oke deh. Aku sekarang udah punya banyak temen di sini. Mereka semua baek. Mau bantuin aku kalo lagi ada masalah. Kalo aku BT mereka yang hibur aku. Waktu itu ada anak kelas 3 yang mau ngelabrak aku gara-gara aku sering ngobrol sama pacarnya, mereka yang bela aku. Temen deketku semuanya ada 6 orang. Empat cewe, dua cowo. Tapi temenku yang paling baek tetep kamu. =)
Fenny> Thanks. Kamu pernah mau dilabrak?
Jeanny> Ya, tapi ga jadi sih, temen-temenku belain aku. Duh, senengnya!!! Tau ga siapa cowonya?
Fenny> Siapa?
Jeanny> Erick.
Fenny> Erick sodara kamu yang kamu anggep kakak kamu sendiri itu?
Jeanny> Iya…
Fenny> Kamu ga kasih tau ke anak kelas tiga itu, kalo Erick sodara kamu?
Jeanny> Ah, ngapain. Emang dia bakal percaya? Lagian kejadiannya udah lama selesainya.
Fenny> Terus, jadinya gimana?
Jeanny> Untung temen-temen cowoku pada maju. Hehehe.. dia langsung kabur. ;D
Fenny> Hahahahahaha………..
Jeanny> ?
Fenny> Bagus deh, sekarang aku juga punya kabar bagus.
Jeanny> Apa?
Fenny> Liburan akhir semester ini aku bakal ke Bandung. Begitu bagi rapot, langsung pulangnya aku ke Bandung. Tapi ortuku sibuk banget, jadi mereka nyusul, gapapa kan?
Jeanny> Gapapa kok, yang penting kamu udah mau ke sini.
Fenny> O, ya, nanti hari Sabtu minggu depan, jam tigaan jemput aku di stasiun ya!
Jeanny> Oke deh! Wah, seneng banget deh! Jadi pengen cepet-cepet! Nanti aku kenalin sama temen-temenku yah…
Fenny> Iya, iya. Sekarang belajar aja buat ujian, biar nilainya bagus, jangan sampe ada merahnya, ya!
Jeanny> Oke!
Hari ini hari Sabtu yang aku tunggu-tunggu. Aku melihat jam tanganku. Jam dua lebih tiga puluh lima menit. Aku pergi ke stasiun dengan tidak sabar. Sampai di stasiun jam tiga kurang lima menit. Dengan tergesa-gesa aku masuk ke pintu gerbang stasiun dan berdiri di depan rel menunggu kedatangan Fenny.
Tak lama kemudian kereta yang aku tunggu-tunggu datang juga. Aku mencari Fenny dengan kalang kabut. Tapi aku tidak melihatnya sampai kereta kosong. Di mana Fenny? Aku mulai resah. Apa dia lupa tentang janjinya? Atau dia akan datang bersama orang tuanya beberapa hari lagi? Kenapa dia tidak memberi tahu aku? Aku memencet nomor HP Fenny di tuts HP-ku. Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.. Ya, Tuhan! Kenapa jadi begini!
Handphone-ku berbunyi.
“Fenny!” teriakku spontan.
“Hallo? Fenny kamu di mana?” Aku melihat sekelilingku, barangkali Fenny melihatku.
“Jean, pulang sekarang.” suara itu bukan suara Fenny, tapi suara Mama.
“Ada apa, Ma? Fenny udah di rumah ya? Ya, udah Jeanny pulang sekarang. Suruh Fenny tunggu sebentar ya!” jawabku senang.
Aku langsung mematikan pembicaraanku dengan Mama dan bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku berlari masuk ke rumah. Kulihat Mama menangis di pundak Papa. Suasana di rumah diliputi kesedihan, entah kesedihan apa.
“Ma, Mama kenapa? Mana Fenny?” tanyaku dengan tidak sabar. Mama diam membisu. Aku heran.
“Ada apa sih, Pa?” tanyaku lagi.
Dengan terbata-bata Papa menjawab “Fenny kecelakaan.”
Seluruh tubuhku lemas, jantungku berhenti berdetak dan setelah itu aku tak sadarkan diri lagi..
Aku membuka mataku. Ini di rumah sakit. Aku melihat Mama belum berhenti menangis, berdiri di sampingku. Aku teringat akan Fenny. Aku langsung terduduk dan menanyakan keadaan Fenny.
“Mama, Fenny..” kataku. “Gimana Fenny, Ma? Jawab!” Aku kalut tanpa bisa berpikir apa-apa lagi.
“Tenang, Jeanny. Kita harus bisa hadapi kenyataan ini..” Papa berusaha menenangkanku.
“Jelasin, Pa! Ada apa? Di mana Fenny sekarang? Jeanny mau ke sana.” desakku.
“Sabar, Jean! Fenny ingin cepet-cepet pergi ke Bandung, jadi sewaktu keluar sekolahnya, dia berlari menyebrang jalan yang ramai menuju mobilnya di seberang jalan. Dia tidak menengok kanan kiri. Dan saat itu, dari arah kiri, ada truk bermuatan berat dengan kecepatan tinggi menabraknya.”
Aku kaget setengah mati. Sahabatku! Sahabatku kecelakaan!
“Dia langsung dibawa ke rumah sakit oleh Papanya, masuk ruang ICU. Sekarang keadaannya masih kritis, dia belum sadar. Begitu kamu pingsan tadi, Papa dan Mama langsung membawa kamu ke bandara dan terbang ke Jakarta. Sekarang kamu istirahat dulu, kalo udah tenang, nanti kita liat Fenny sama-sama.” lanjut Papa memegang tanganku dan berusaha membuat aku tenang.
Air mataku mengalir deras. Tuhan, mengapa Kau ambil dia sekarang? Pada saat aku sedang senang. Kau telah ambil nyawanya, kebahagiaannya yang juga kebahagiaanku.
Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi? Aku tidak bisa terima kenyataan ini! Tuhan, kembalikan Fenny padaku! Aku belum siap ditinggal Fenny. Aku belum siap!!!! Aku berteriak-teriak dalam hatiku. Hatiku sakit bagai dihujam pisau yang baru diasah dari langit. Aku menutup mulutku sambil menangis dan menggeleng-gelengkan kepalaku. Yang bisa aku pikirkan ialah berada di samping Fenny dan membangunkannya.
Aku duduk di kursi. Lalu berdiri, berjalan mondar-mandir tidak sabar. Tiba-tiba dokter membuka pintu ruang ICU, membuka penutup mulut dan tangannya, berjalan ke arah kami tertunduk lesu.
“Bagaimana anak kami, Pak?” tanya Papanya Fenny.
Dokter hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kami sudah berusaha sekuat kami. Tapi Tuhan berkehendak lain. Fenny mengalami pendarahan di otaknya, dia kehilangan banyak darah. Maaf, kami hanya melakukan tugas kami, tapi keputusan terakhir Tuhan yang buat.” katanya sedih.
Aku hanya diam mematung di tempatku berdiri. Air mataku sudah habis, dan sekarang tidak keluar lagi. Semua keluarganya serta Mama dan Papa sedih bahkan menangis, kecuali aku. Kami masuk dan membuka kain penutup tubuh Fenny yang sudah meninggal.
Mereka semua menangis, kecuali aku. Aku keluar ruangan, duduk di kursi ruang tunggu, menunduk, dan merenung. Aku kembali mengingat semua kenangan kami dahulu. Semua kenangan yang indah dan yang pahit, yang kami alami bersama.
Aku tak tahu, apa aku masih bisa melanjutkan hidupku tanpa Fenny. Selama ini dia yang selalu menguatkan aku ketika aku lemah. Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa aku ajak curhat. Tidak ada lagi.
Minggu pagi yang cerah di Bandung, aku mendekati kuburan itu, menaruh sebuket bunga di atasnya. Fenny, selamat tinggal, aku tidak akan melupakanmu, sampai aku mati nanti. Terima kasih mau jadi teman terbaikku selama ini. Aku tidak akan lupa kenangan kita. Selamat tinggal sahabatku.. Aku tidak akan lupa kamu. Tidak akan lupa..
Aku membalikkan badan. Mama dan Papa sudah menunggu di mobil. Selama perjalanan pulang, aku diam membisu dan merenung.
“Jean, dari tadi kamu diem aja. Kalo kamu mau nangis, nangis aja, keluarin perasaan kamu, biar kamu lega.” Mama bilang padaku dengan lembut.
Aku hanya tersenyum kecut, “Aku ngga apa-apa.”
Mobil kami sampai di depan rumah. Aku tidak masuk ke dalam rumah. Aku melihat ke arah lapangan bola, dan aku mendekatinya. Matahari terik, aku berjalan ke bawah pohon tua. Tulisan janji persahabatan kami masih tertera di situ. Aku merabanya dan hatiku menangis sedih. Selama sejam lamanya aku melihat ke dalam tulisan itu dan mengingat semua kenangan kami, aku menangis.
Malam yang dingin. Aku masih di lapangan bola, di bawah pohon. Sinar bintang yang berkedip-kedip itu menarik perhatianku. Aku menatap langit hitam. Aku teringat ucapan Fenny dahulu: ”Bintang yang berkedip-kedip ini sama seperti bintang di langit sana. Meskipun sinarnya tidak seterang bulan, bintang ini menandakan seseorang yang punya gairah hidup yang besar, tidak pernah putus asa, tapi terus berusaha. Kadang-kadang jatuh, tapi dia akan bangkit lagi. Dia lemah, tapi mencoba untuk kuat. Aku harap, kamu bisa seperti bintang ini.”
Ya, aku harus kuat seperti bintang itu. Demi Fenny.
Aku teringat akan kalung BEST FRIEND kami, sampai saat terakhir petinya ditutup, aku masih melihat kalung itu di leher Fenny.
Aku melepas kalung itu dan memandangnya lama-lama. Aku tidak bisa hidup di bawah bayang-bayang Fenny.
Aku akan melupakan semua kenangan itu, menyimpannya di dalam hatiku yang terdalam dan tak akan aku ungkit lagi. Aku harus tegar, aku harus melihat ke depan, bukan ke belakang. Bukankah aku punya teman baru yang baik? Meskipun tak ada yang sebaik Fenny, tapi mereka dapat menghibur aku dan memberikan aku kebahagiaan yang baru.
Aku menyimpan semua barang-barang yang mengingatkan tentang Fenny dalam suatu kotak. Aku bungkus rapi, dan kutaruh di bawah kolong ranjangku. Tak akan aku buka-buka lagi kotak itu..
Sudah delapan tahun berlalu sejak kejadian itu. Masih ada rasa sedih di hatiku, meskipun sedikit sekali. Dua puluh empat umurku sekarang. Aku sudah mencapai impianku menjadi seorang arsitek pembangunan.
Aku dan teman-temanku yang dulu semuanya Tuhan pertemukan di sini. Mereka semua keenamnya bekerja di tempat yang sama denganku. Aku senang, dan baru mengerti ternyata inilah rencana Tuhan yang sudah Dia persiapkan sejak dulu.
“Jean!” Angel, teman baikku membuyarkan lamunanku.
“Lagi ngapain ngelamun di situ?” katanya sambil tertawa. “Kita dapet proyek baru lho!”katanya senang sambil mengacungkan gulungan kertas kepadaku.
Aku tersenyum. “O, ya?”
“Makanya jangan ngelamun terus!” katanya lagi.
Kami pergi ke tempat di mana proyek baru itu akan dibuat. Selama perjalanan, kami melewati sebuah caffee.
“Mampir dulu, yu! Laper nih!” ajak Angel.
Aku menyetujuinya karena aku juga lapar. Caffee ini agak unik. Terkesan alami, karena design interiornya serba kayu.
Di tengah-tengah caffee menjulang tinggi sebuah pohon besar yang sudah tua dengan daun-daunnya yang rindang, membuat caffee ini terkesan asri. Kami duduk di dekat pohon. Setelah memesan makanan, aku melihat-lihat sekeliling.
“Designnya bagus, ya!” kataku terkagum-kagum. Mataku tertuju pada kekokohan pohon tua yang terletak di samping meja kami. Tiba-tiba mataku melihat sebuah tulisan. Aku tertegun.
Tulisan itu masih ada, tiga belas tahun yang lalu aku menuliskannya bersama seorang sahabat sejatiku. Seorang sahabat sejati yang tidak akan pernah aku lupakan. Dan tulisan itu akan terpatri di sana, sampai aku tua...




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda